Oleander, Bunga Mentega yang Beracun

BERITA di media massa mengenai tanaman hias di Kota Bandung mengandung racun yang berbahaya rupanya berdampak besar. Sebagian warga Bandung dibuat terhenyak, mereka seolah baru menyadari selama ini hidup di tengah lingkungan yang dipenuhi oleh tanaman beracun. Tak jarang juga warga dilanda rasa takut dan panik. Kepanikan itu kemudian mendorong tindakan "tak berperiketanaman", membabat habis beberapa jenis tanaman yang sudah puluhan tahun nyaman sebagai penghias kota atau rumah. Oleander pun menjadi korban paling mengenaskan dari aksi eliminasi tersebut.

Sejak puluhan tahun oleander (Nerium oleander) dibudidayakan sebagai tanaman hias, baik di pekarangan rumah maupun taman-taman kota atau di pinggiran jalan. Tanaman yang berasal dari Maroko dan Portugal itu sebenarnya tak terlalu sedap dipandang. Namun, bentuknya yang unik berupa semak-semak yang bersifat evergreen shrub menjadikan tanaman ini banyak diminati. Tak heran, di sudut-sudut rumah, pekarangan, taman kota, dan median jalan, tanaman dengan bunga berwarna merah muda ini tampil percaya diri.

Banyak nama diberikan kepada bunga yang satu ini seperti zakum (Turki), zaqqum (Arab), arali (Tamil), jia zhu tao (Cina), atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama bunga mentega. Sebutan ini tampaknya berasal dari kata "Olea" yang dalam bahasa Latin bermakna oil atau berminyak. Mungkin agak kurang enak didengar jika namanya menjadi "bunga minyak", makanya disebut dengan bunga mentega. Tanaman ini dikenal akan kemampuannya memproduksi minyak yang bisa memenuhi lahan sekitar tempatnya tumbuh. Orang Sunda sendiri menyebutnya kere atau jure.

Paling beracun

Tanpa kita sadari, pada umumnya tanaman hias memang beracun. Namun, berbeda dengan jenis tanaman lain yang mengandung racun hanya pada beberapa bagian tubuhnya, seperti bunga atau getah, oleander mengandung racun pada tiap bagian tubuhnya. Oleander adalah salah satu tanaman yang paling beracun di dunia dan mengandung sejumlah komponen racun yang banyak di antaranya yang bisa menimbulkan kematian, khususnya pada anak-anak. Derajat keracunan bunga oleander diyakini secara ekstrem sangat tinggi. Namun, dari sejumlah kasus yang dilaporkan, hanya sedikit kasus keracunan oleander yang menimbulkan kematian.

Racun paling penting dalam bunga oleander adalah oleandrin dan nerrine yang berhubungan dengan glikosid jantung. Racun-racun tersebut terdapat pada semua bagian tanaman, namun umumnya terkonsentrasi pada bagian getah yang tampilannya berwarna putih seperti susu. Jika memapar kulit manusia, getah ini bisa menghalangi reseptor luar kulit manusia sehingga menyebabkan kulit jadi kebas atau mati rasa. Ada keyakinan bahwa oleander mengandung beberapa senyawa berbahaya yang belum diketahui atau belum diteliti. Kulit kayu oleander mengandung rosagenin yang diketahui memiliki efek mirip strychnine. Keseluruhan bagian tanaman yang mengandung racun tersebut menyebabkan reaksi merugikan, baik bagi manusia maupun hewan.

Oleander juga diketahui dapat menyimpan racunnya meski dikeringkan. Diyakini bahwa 10-20 helai daun yang dikonsumsi oleh orang dewasa dapat menyebabkan reaksi merugikan, dan satu helai daun cukup untuk dijadikan senjata mematikan jika dimakan oleh anak kecil atau bayi. Di Amerika Serikat, menurut Toxic Exposure Surveillance System (TESS), pada 2002 diketahui ada 847 orang yang keracunan akibat berhubungan dengan oleander.

Sementara itu, di belahan dunia lain, ada sejumlah laporan tak terhitung mengenai kasus-kasus bunuh diri dengan mengonsumsi biji bunga oleander di India Selatan. Dalam dunia binatang, kandungan racun sekitar 0,5 miligram per kilogram berat badan hewan sudah cukup mematikan bagi banyak hewan, dan berbagai dosis lain akan memengaruhi hewan lain. Sebagian besar hewan dapat menderita reaksi atau kematian akibat tanaman ini.

Efek keracunan

Di Indonesia sendiri belum ada laporan yang menyebutkan kasus-kasus keracunan yang secara spesifik berkaitan dengan tanaman oleander. Jika pun ada kejadian orang keracunan oleander, sangat mungkin tidak terlaporkan karena berbagai alasan, mulai dari ketidaktahuan korban, belum adanya perhatian terhadap potensi ancaman racun dari oleander, hingga kemungkinan salah deteksi. Jadi, jangan berharap banyak kita bisa memiliki data menyangkut kasus-kasus keracunan oleander.

Berdasarkan studi di AS, kasus keracunan oleander umumnya terjadi ketika bagian dari tanaman tersebut masuk ke sistem pencernaan. Reaksi terhadap tanaman ini ada dua, yakni menyebabkan efek jantung dan gastrointestinal (berkaitan dengan sistem pencernaan antara lambung dan usus). Efek gastrointestinal berupa rasa mual dan ingin muntah, pengeluaran air liur berlebih, nyeri perut, dan diare yang disertai pendarahan. Meski demikian, di AS sendiri kasus keracunan oleander lebih banyak ditemukan pada hewan, terutama kuda, dengan gejala umum sakit perut.

Sementar reaksi yang berhubungan dengan jantung berupa denyut jantung tak beraturan, kadang ditandai oleh detak di bawah normal. Jantung juga berdegub tak keruan, tak beraturan, dan tanpa irama spesifik. Pada kasus yang ekstrem, bisa menyebabkan pasien pucat dan kedinginan karena sirkulasi darah yang tidak beraturan atau rendah. Reaksi terhadap keracunan dari tanaman ini dapat juga memengaruhi sistem saraf pusat. Gejalanya bisa berupa perasaan kantuk yang kuat, otot gemetar, limbung, bahkan pingsan yang berakibat pada kematian. Getah oleander bisa menyebabkan iritasi pada kulit, radang pada mata, dan reaksi alergi yang ditandai oleh dermatitis (radang infeksi kulit).

Perawatan medis

Proses keracunan dan reaksi terhadap tanaman oleander berlangsung sangat cepat, sehingga menuntut perawatan medis yang segera terhadap korban atau yang diketahui keracunan, baik pada hewan maupun manusia. Rangsangan untuk muntah dan yang berhubungan dengan lambung adalah tindakan pencegahan untuk mengurangi penyerapan kandungan racun dalam sistem pencernaan. Arang bisa digunakan untuk membantu menyerap sisa kandungan racun (Inchem, 2005). Dalam kasus-kasus tertentu, perlakuan medis lebih lanjut mungkin dibutuhkan, tergantung pada tingkat kegawatan nya.

Mengeringkan seluruh bagian tanaman oleander tak akan mampu menghilangkan racun pada tanaman ini. Tindakan itu justru berisiko terhadap hewan seperti domba, kuda, lembu, atau hewan gembalaan lain, karena hanya dengan 100 gram cukup untuk membunuh seekor kuda dewasa. Potongan bagian dari tanaman juga berbahaya bagi hewan, khususnya kuda, karena rasanya manis.

Namun racun oleander tak mempan terhadap beberapa jenis hewan invertebrata (tak bertulang belakang). Bahkan, hewan-hewan tersebut menjadikan tanaman oleander sebagai sumber pakan mereka. Sebut saja ulat bulu oranye oleander caterpillar dengan bulu-bulunya yang hitam dan tawon oleander (Syntomeida epilais). Keduanya termasuk kebal terhadap oleander dan bertahan hidup dengan cara memakan bagian bubuk kayu di sekitar jaringan vena daun oleander dan menghindari seratnya.

Sementara kupu-kupu gagak atau common crow butterfly (Euploea core) memodifikasi racun oleander untuk menjadikan tubuhnya tidak enak atau tidak menyenangkan bagi para pemangsa, khususnya kelompok burung.

Mengingat bentuk dan penampilan tanaman dan peruntukannya sebagai tanaman hias, rasanya sangat kecil peluangnya tanaman tersebut masuk ke sistem pencernaan melalui cara yang disengaja. Potensi terbesar memang ada pada hewan. Oleh karena itu, agak berlebihan dan kurang bijaksana jika untuk menghindari terjadinya keracunan pada menusia, tanaman tersebut "dibantai" habis.

Sudah saatnya pula kita membudayakan perilaku positif dengan membiasakan memberi identitas yang jelas kepada setiap tanaman yang kita tanam. Setidaknya, di taman-taman kota yang dipenuhi rimbunan oleander terpampang papan nama, "Oleander, Bunga Mentega Beracun".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar