Menuju Indonesia Cerdas Iklim

Konferensi Perubahan Iklim sedang berlangsung di Poznan, Polandia. Perundingan yang diikuti 190 negara ini belum juga menemukan titik temu. Kesepakatan belum tercapai, pembahasan justru semakin alot, bahkan menunjukkan gejala perpecahan terutama di kalangan negara-negara Uni Eropa.

Padahal, alam tak bisa menunggu lama. Data dari Badan Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan, selama dekade terakhir, 90 persen bencana yang melanda dunia terkait perubahan iklim. Lantas, apa yang sebaiknya kita lakukan untuk mengatasi bencana iklim, jika komitmen negara-negara di dunia tak bisa lagi diandalkan? Bagaimana seharusnya Indonesia beradaptasi terhadap bencana terkait perubahan iklim?

Bencana iklim

Sebelumnya, perlu dipahami apa yang dimaksud bencana. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana adalah sesuatu yg menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya. Dengan demikian, bencana alam adalah penderitaan, kesusahan, kerugian, bahaya yang disebabkan oleh alam. Meskipun disebabkan oleh perilaku alam, tapi dampak yang ditimbulkan telah menyentuh ranah kemanusiaan.

Bencana iklim adalah setiap bencana yang terjadi akibat (baik langsung maupun tidak langsung) fenomena di atmosfer yang terkait iklim dan unsur-unsurnya (termasuk cuaca). Bencana iklim meliputi kekeringan (kemarau panjang), banjir, puting beliung, badai guruh, longsor, siklon tropis, kebakaran hutan, dan sebagainya.

Banjir dan longsor

Lalu, bagaimana potensi bencana iklim tersebut di negeri ini? Di Indonesia, banjir dan longsor merupakan bencana iklim terbesar sepanjang sejarah yang terus berulang setiap tahun. Selama tahun 1998-2003, telah terjadi 302 banjir dan 245 longsor. Bencana lainnya, yaitu angin puting beliung terjadi 46 kali, gempa bumi sebanyak 38 kali, dan gunung berapi 16 kali (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2003).

Hal ini menunjukkan bahwa banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dengan persentasi kejadian sebesar 47 persen. Banjir menduduki peringkat pertama bencana tersering dan terbesar (sebelum terjadinya tsunami di Aceh pada 2004) di Indonesia yang melenyapkan 1.066 nyawa dengan kerugian sekitar Rp 191 miliar rupiah. Kerugian akibat banjir adalah 93 persen dari total kerugian yang diakibatkan oleh seluruh bencana (longsor, gempa bumi, gunung berapi). Sementara itu, longsor yang memiliki persentasi kejadian 38 persen telah menimbulkan 645 korban jiwa dan menyisakan kerugian sekitar Rp 14 miliar.

Akibat pemanasan global dan perubahan iklim, diperkirakan banjir, longsor, dan angin puting beliung akan semakin sering dan meluas dampaknya dari tahun ke tahun di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada inisiatif yang kuat dari pemerintah dan masyarakat untuk memperketat jumlah emisi karbon yang dihasilkan negara ini, meskipun negosiasi internasional belum pula menemukan titik terang.

Cerdas iklim

Beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah upaya terbaik yang harus digiatkan semua pihak. Tujuan dari adaptasi sejatinya sangat gamblang, yakni mengajak setiap individu dan komunitas (perusahaan, negara) agar hidup lebih hemat, sehat, peduli dan empati terhadap lingkungan serta masa depan bumi.

Beberapa isu yang mengemuka mengenai adaptasi perubahan iklim adalah apakah sistem pembangunan di negara ini sudah memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim? Apakah perencanaan pembangunan di Indonesia sudah mempertimbangkan pembangunan yang "cerdas iklim" (climate smart)?

Perlu dipikirkan pula agar kebijakan pembangunan berorientasi pada pengurangan gas rumah kaca atau pengurangan emisi karbon. Sebab, perubahan iklim memiliki kaitan erat dengan pemanasan global yang diakibatkan bertambahnya gas rumah kaca.

Apa saja yang sebaiknya dilakukan pemerintah dan masyarakat? Pertama, rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, harus memasukkan poin "cerdas iklim" sebagai fondasi utama yang harus dimiliki dalam bidang tata kelola ruang dan wilayah, pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya.

Kedua, pemerintah dapat membuat kebijakan agar perusahaan berkomitmen mengurangi emisi karbon dari operasional perusahaan mereka. Salah satu caranya dengan membuat skema "pajak karbon" yang dapat dibebankan kepada perusahaan yang mengeluarkan emisi karbon melebihi standar penetapan emisi karbon.

Ketiga, para ilmuwan dan perekayasa harus melakukan inovasi segera di bidang energi untuk menemukan alternatif pengganti minyak bumi dan batu bara. Seperti diketahui, emisi karbon terbesar bersumber dari penggunaan bahan bakar minyak dan batu bara.

Keempat, meminimalkan sampah karbon yang ditimbulkan dari hasil pembabatan hutan untuk barang komoditas kayu siap pakai. Hanya 10 persen dari bagian pohon yang digunakan sebagai barang komoditas. Selebihnya, 90 persen adalah sampah yang berpotensi mengeluarkan emisi karbon. Oleh karena itu, perusahaan kayu harus memikirkan pula penciptaan teknologi yang dapat meminimalkan sampah karbon ini.

Kelima, menggalakkan hidup "hemat karbon" di kalangan masyarakat, terutama bagi kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas yang memiliki potensi besar mengeluarkan emisi karbon dari "gaya hidup" mereka.

Keenam, melakukan dan mengampanyekan penanaman pohon atau penghijauan di lingkungan tempat tinggal, perkantoran, dan lingkungan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar