Iklim Ciptakan Keanekaragaman Hayati

Indonesia merupakan laboratorium alam dengan banyak pulau yang dapat dianggap sebagai tabung percobaannya. Laboratorium ini menghasilkan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Berbagai teori besar ilmu pengetahuan yang sebagian di antaranya merupakan ilmu biologi dan ilmu kebumian dilahirkan dari penelitian yang dilakukan di wilayah Indonesia. Termasuk di antaranya Teori Evolusi dari Charles Darwin yang didasarkan pada hasil pengamatannya di beberapa kepulauan setelah didorong hasil pengamatan Wallace terhadap sumber daya alam di Indonesia.

Secara umum evolusi berarti perubahan, pertumbuhan, atau perkembangan secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan. Dalam orasi pengukuhan Dr. H. Fachroel Aziz sebagai profesor riset bidang paleontologi Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berjudul "Evolusi dan Paleontologi Vertebrata Indonesia: Perspektif Perubahan Iklim", ia mengemukakan beberapa faktor yang secara biologis memengaruhi mekanisme proses evolusi.

Faktor pertama ialah mutasi. Bukti-bukti empiris yang nyata terhadap mekanisme evolusi melalui mutasi dapat dilihat misalnya dalam bidang mikrobiologi modern yang ditunjukkan dengan kebalnya parasit malaria terhadap berbagai jenis obat-obatan, atau berbagai penyakit mikroorganisme yang menjadi kebal terhadap berbagai obat antibiotik.

Sejumlah parasit atau mikroorganisme di antara berjuta-juta mikroorganisme sejenis mempunyai struktur genetis yang dapat melakukan mutasi genetis yang membuatnya menjadi kebal terhadap senyawa kimia. Sementara itu, mikroorganisme yang lain tidak memiliki kemampuan genetis demikian. Hal ini disebabkan oleh masa regenerasi yang cepat. Yang beruntung, yaitu dapat bermutasi, dapat berkembang cepat dan menjadi dominan di antara mikroorganisme tersebut.

Faktor kedua ialah adaptasi. Mekanisme proses evolusi juga dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi organisme itu sendiri. Sebenarnya, untuk dapat melihat perubahan evolusi diperlukan ratusan generasi dalam populasi yang berkesinambungan. Untuk mikroorganisme, dalam waktu satu atau beberapa tahun saja, kita telah dapat melihat berbagai perubahan genetis secara nyata.

Akan tetapi, untuk makhluk tingkat tinggi bersel banyak yang mempunyai waktu regenerasi lebih panjang, umumnya diperlukan waktu lebih panjang dari umur hidup manusia untuk dapat melihat perubahan secara genetis tersebut.

Tidaklah mudah mengamati perubahan genetis dan fenotipis pada mamalia karena membutuhkan waktu puluhan ribu tahun atau bahkan lebih. Untuk dapat mengamati perubahan evolusi pada mamalia, termasuk manusia, sangat bergantung pada fosil.

"Faktor ketiga yang juga amat menentukan ialah iklim," ujar Fachroel di depan undangan yang menghadiri pengukuhannya sebagai profesor riset, bertempat di Auditorium Badan Geologi Departemen ESDM, beberapa waktu lalu.

Kepulauan Indonesia merupakan wilayah geografis yang unik, terdiri dari banyak pulau, baik besar maupun kecil yang sebagian di antaranya secara periodik menyatu dengan yang lain atau dengan benua Asia atau Australia pada saat susut laut yang dikenal sebagai Zaman Es, ketika air laut dalam jumlah besar membeku di sekitar kutub bumi.

Zaman Es ini berdampak drastis sekali terhadap iklim lokal, yang secara umum menyebabkan iklim menjadi lebih kering dan lebih dingin. Hal ini tercermin pada himpunan fosil fauna yang ditemukan di Jawa.

Pada Zaman Es, Jawa, Kalimantan, dan Sumatra menyatu dengan benua Asia yang kemudian dikenal sebagai Paparan Sunda. Secara garis besar, lingkungan pada saat tersebut lebih mirip keadaan sabana Afrika sekarang ini dan tidak seperti keadaannya sekarang yang merupakan hutan hujan tropis.

Sebagai contoh, himpunan fauna di Ngandong dan Kedungbrubus adalah khas fauna sabana yang didominasi oleh hewan pemakan rumput yang hidup di hutan terbuka dan rawa seperti kerbau dengan tanduk panjang yang dapat mencapai dua meter atau lebih (Bubalus palaeokerabau). Didapati juga banteng (Bibos paleosondaicus), epiloptobos ((Epilobtobos groeneveldtii), tapir (Tapirus indicus), gajah (Elephas hysudrindicus), babi (Sus magrognathus), kuda nil (Hexaprotodon sivalensis), badak (Rhinoceros kendengindicus), hyanea (Hyanea brevirostris), harimau (Panthera tigris), kera (Macaca fasicularis), dan lainnya.

Sementara himpunan fauna Punung dicirikan dengan berlimpahnya orangutan (Pongo pygmaeus) dan siamang ( Hylobates syndactylus) serta berbagai jenis kera lainnya yang menunjukkan himpunan fauna yang hidup di hutan hujan tropis.

Isolasi juga menjadi faktor lain yang sangat berpengaruh dalam proses evolusi. Dalam skala waktu yang lebih panjang, modifikasi kondisi geografi Indonesia terjadi karena proses tektonik dan vulkanik yang menyebabkan terisolasinya beberapa pulau yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Seperti rangkaian kepulauan yang terdapat di antara Paparan Sunda dan Paparan Sahul, di seberang garis Wallace seperti Sangihe, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku-Halmahera satu dengan yang lainnya terpisahkan oleh laut palung yang dalam.

Akibat dari isolasi ini dapat terlihat dari himpunan fauna yang terdapat di daerah ini sangat terbatas jenisnya. Hanya dihuni oleh fauna yang mampu menembus isolasi dengan cara berenang.

Dikatakan Fachroel, migrasi fauna dari satu tempat ke tempat lain sangat tergantung dari keadaan geografis dan habitat dari fauna tersebut. "Pada umumnya laut merupakan kendala dalam perpindahan fauna tersebut," katanya. Akan tetapi, beberapa jenis fauna seperti gajah, rusa, dan babi mempunyai kemampuan berenang yang baik sehingga dapat menyeberang laut.

Fauna di daerah ini kemudian umumnya menunjukkan ciri-ciri morfologi khusus serta jenis mamalianya cenderung mengalami pengerdilan, sedangkan jenis reptil cenderung bertambah besar.

Isolasi merupakan faktor yang penting dalam perubahan genetis dan dapat pula melahirkan spesies yang berbeda. Secara singkat, dalam satu populasi spesies fauna yang sama dapat dibagi dalam dua atau lebih populasi. Selanjutnya populasi tersebut akan mudah berkembang menjadi dua atau lebih spesies yang berbeda secara nyata, ketika populasi itu terpisah dalam isolasi genetis untuk jangka waktu yang lama.

Contohnya spesies endemik yang terdapat di Sulawesi berbeda jauh dengan kerabatnya jika dibandingkan dengan spesies yang ada di Sumatra dan Jawa yang relatif dekat. Selain itu, isolasi menyebabkan terputusnya aliran genetis dari moyang yang berakibat sukar bahkan tak mungkin menelusuri moyangnya, seperti spesies endemik di Sulawesi semisal anoa (Anoa depressicornis), babirusa (Babyrousa babyrussa), dan berbagai jenis kera di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar