Carl Edward Sagan (1934¬1996) Pakar Biologi Luar Angkasa

Carl Sagan, sebagaimana astronom pada umumnya, memang tidak menghasilkan penemuan di bidang rekayasa yang membuat hidup menjadi lebih mudah. Meskipun demikian, nama Carl Sagan seolah telah menjadi "jaminan mutu" bagi kegiatan pencarian eksistensi kemanusiaan di alam semesta melalui kepiawaiannya dalam melakukan popularisasi sains dan membawanya ke ruang publik secara menyenangkan, baik melalui kuliah umum, buku-buku populer maupun serial televisi yang sukses luar biasa.

Meski bidang riset Sagan cukup luas, mulai dari astronomi, kosmologi hingga filsafat sains, minatnya terutama pada asal usul kehidupan di Bumi dan kemungkinan kehadiran kehidupan di tempat lain di alam semesta, yang dikenal sebagai eksobiologi. Pada tahun 1960-an, Sagan sukses memodifikasi eksperimen ilmiah Stanley Miller dan Harold Urey yang telah lebih dulu berhasil menyintesis asam amino dan asam hidroksi dari campuran metana, amonia, uap air, dan hidrogen di laboratorium.

Alih-alih menggunakan hidrogen seperti pendahulunya, Sagan menambahkan hidrogen sulfida ke dalam bahan campuran dan menyinarinya pula dengan cahaya ultraviolet selain lucutan listrik untuk menyimulasikan efek cahaya Matahari. Eksperimen hasil modifikasi Sagan ternyata mampu membentuk asam amino dan beberapa macam gula termasuk asam nukleat. Asam nukleat dikenal sebagai substansi dasar kehidupan yang bertanggung jawab atas pewarisan karakteristik genetik dan memacu pembentukan protein-protein tertentu. Baik pekerjaan Miller, Urey, maupun Sagan berhasil menunjukkan kehadiran material kimiawi di awan Bumi saat purba, sejauh berada di bawah kondisi yang sesuai, dapat bergabung untuk membentuk apa yang oleh ilmuwan disebut sebagai the building blocks of life.

Saat sedang menyelesaikan studi doktoralnya, Sagan turut serta dalam program eksplorasi keplanetan milik NASA (National Aeronautics and Space Administration), mulai dari misi Mariner, Pioneer, Voyager hingga misi Galileo. Sagan pula yang membantu mendesain prasasti logam yang dibawa oleh wahana Pioneer 10 dan 11 yang menggambarkan ras manusia dan posisi Bumi tempat tinggalnya di tata surya.

Sagan mengawali riset besar pertamanya tentang permukaan dan atmosfer Venus pada awal 1960-an. Dengan elegan Sagan menunjukkan, anggapan banyak ilmuwan kala itu yang meyakini bahwa suhu permukaan Venus cukup nyaman bagi manusia adalah salah. Melalui model matematika atmosfer Venusnya yang menjadikan emisi yang dihasilkan planet sebagai alat ukur yang akurat tentang temperatur permukaannya, Sagan justru mampu membuktikan bahwa temperatur permukaan Venus terlampau panas untuk dapat ditoleransi manusia (lebih dari 400 derajat Celsius!).

Kontribusi Sagan lainnya dalam studi keplanetan adalah penjelasannya tentang penyebab hadirnya variasi warna di permukaan Planet Mars. Alih-alih mendukung pendapat bahwa variasi tersebut sebagai bukti adanya aktivitas kehidupan di planet Merah, Sagan justru menyarankan bahwa daerah berwarna gelap di Mars yang terlihat dari Bumi tidak lain adalah bukit-bukit yang digerus oleh angin Martian yang membawa terbang partikel-partikel debu halus dengan warna yang lebih terang ke lembah-lembah. Teori ini berhasil dikonfirmasi kemudian oleh wahana Mariner 9 yang dikirimkan ke Mars.

Bersama ilmuwan Amerika lainnya, Paul dan Anne Ehrlich, pada 1980-an Sagan memformulasikan gagasan nuclear winter yang dilatarbelakangi studinya tentang atmosfer Bumi yang intensif sejak satu dekade sebelumnya. Bersama koleganya, Sagan berteori bahwa ledakan tidak sampai setengah dari jumlah hulu ledak nuklir yang dimiliki Amerika Serikat dan Rusia dapat melontarkan abu dan debu yang sangat tebal ke atmosfer yang mampu menghalangi sinar Matahari hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Efek ini terutama akan dirasakan di Bumi belahan utara.

Terhalangnya sinar Matahari akan memicu musnahnya kehidupan tumbuh-tumbuhan dan iklim pun berubah menjadi lebih dingin. Lapisan ozon kemungkinan besar juga akan terpengaruh yang akan menimbulkan kerusakan lebih lanjut akibat penetrasi radiasi ultraviolet Matahari. Seperti halnya efek kartu domino, peradaban manusia pun dapat hilang akibat bencana berkepanjangan ini. Meski pada tahun 1985 memperoleh pengakuan dari Departemen Pertahanan AS perihal keabsahan konsep yang diajukan, dikatakan bahwa proposal tersebut tidak akan memengaruhi kebijakan pertahanan. Dilahirkan 9 November 1934 di salah satu kota paling sibuk di dunia, New York, Sagan memperoleh gelar sarjana fisikanya dari University of Chicago pada 1955. Selang lima tahun kemudian, diperolehnya gelar doktor bidang astronomi dan astrofisika dari universitas yang sama. Sejak tahun 1960 hingga 1962 menjadi rekan peneliti di University of California, Berkeley, dilanjutkan mengajar di Harvard University sampai dengan tahun 1968 sekaligus melakukan penelitian di Smithsonian Astrophysical Laboratory. Pada 1968, Sagan hijrah ke Cornell University di Ithaca, New York dan menjabat sebagai Direktur Laboratory for Planetary Studies. Pada tahun 1970, tokoh dalam popularisasi sains ini menjadi profesor astronomi dan sains antariksa di Cornell University, posisi yang dipegangnya sampai wafat pada 20 Desember 1996.

Meski disibukkan dengan aktivitasnya sebagai ilmuwan, Sagan tetap mendedikasikan waktu yang dimilikinya untuk menghadirkan sains ke ruang publik. Dalam pandangannya, khalayak luas berhak mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari penelitian yang dibiayai oleh pajak rakyat. Pada 1978, Sagan memperoleh penghargaan Pulitzer untuk bukunya The Dragons of Eden: Speculations on the Evolution of Human Intelligence. Buku-buku populer karyanya yang lain adalah Broca’s Brain: Reflections on the Romance of Science (1979), novel Contact (1985), Pale Blue Dot (1994), dan The Demon-Haunted World (1996).

Pada 1980, Sagan sempat membintangi acara televisi bertajuk "Cosmos", sebuah acara televisi berseri yang populer di Amerika Serikat. Beberapa bulan sepeninggalnya, diluncurkan sebuah film yang dibintangi aktris ternama Jodie Foster yang digarap berdasarkan novel Contact-nya. Bersama I.S. Shklovsky (astrofisikawan Rusia) dan Hermann Oberth (matematikawan dan insinyur peroketan kelahiran Rumania), Carl Sagan termasuk sedikit ilmuwan yang menaruh perhatian terhadap kemungkinan kehadiran "astronaut purba" di Bumi sejak dulu sebagaimana digagas dalam Paleocontact Theory.

Peradaban di Bima Sakti


Hampir 50 tahun silam, fisikawan Giuseppe Cocconi dan Philip Morrison menulis sebuah artikel yang menyodorkan gagasan bahwa teknologi teleskop radio pada masa itu sudah cukup sensitif untuk dapat menangkap sinyal komunikasi dari suatu peradaban jauh yang mungkin ada yang mengorbit di bintang-bintang lain. Frank Drake, seorang astronom radio, yang terinspirasi dengan artikel kedua fisikawan kemudian memprakarsai berlangsung pertemuan dua hari di Green Bank, West Virginia, pada bulan November 1961 yang dihadiri oleh teknisi radio, astronom, dan pakar biologi.

Dalam pertemuan Green Bank tersebut, Drake hadir dengan persamaan yang untuk selanjutnya dikenal sebagai Persamaan Drake (Drake Equation). Dengan persamaannya itu Drake menjadi orang pertama yang menemukan metode pencarian sinyal-sinyal dari peradaban jauh secara sistematik yang sekaligus berhasil memecah satu "pertanyaan besar" ke dalam sejumlah "pertanyaan-pertanyaan kecil". Drake telah menyusun sebuah persamaan matematika untuk memberi landasan sistematik bagi pencarian peradaban di alam semesta yang mahaluas ini.

Persamaan tersebut mengandung tujuh buah besaran yang harus dihitung secara terpisah untuk memperoleh informasi tentang banyaknya peradaban yang teramati di galaksi kita, Bima Sakti. Ketujuh besaran tersebut meliputi laju kelahiran bintang di galaksi, fraksi planet yang hadir menemani bintang-bintang induk mereka, fraksi planet yang menyerupai Bumi, fraksi planet dengan kehidupan, fraksi kehidupan cerdas yang dapat hadir di planet-planet yang menunjang kehidupan, fraksi kehidupan cerdas yang mampu berkomunikasi, dan kala hidup peradaban yang mengenal teknologi untuk berkomunikasi tersebut.

Meski lebih dari 40 tahun berselang, projek SETI (Search for ExtraTerrestrial Intelligent; projek ini tak berkaitan dengan penelitian UFO) tidak juga membuahkan hasil seperti yang diharapkan, yaitu berhasil ditangkapnya sinyal radio dari kehidupan cerdas lain di Bima Sakti. Dalam artikel mereka di jurnal ilmiah Nature pada tahun 1959, Cocconi dan Morrison menulis, "The probability of success is difficult to estimate, but if we never search, the chance of success is zero."

Seandainya kita memilih bersikap pesimis tentang keberadaan peradaban lain tersebut, di atas kertas berapa banyakkah kehidupan cerdas yang juga memiliki pemikiran seperti manusia di Bumi untuk mengirimkan sinyal-sinyal komunikasi? Perhitungan yang dilakukan Eric Schulman seperti termuat dalam artikelnya di majalah Mercury edisi September 2000 menghasilkan peradaban cerdas yang mampu berkomunikasi di Bima Sakti tidak kurang dari 50.000 buah peradaban. Jumlah yang lebih dari cukup untuk saling berkorespondensi atau saling berkunjung manakala teknologi untuk mewujudkannya sudah dapat kita kuasai. Benarlah kiranya salah satu dialog dalam drama Hamlet karya William Shakespeare yang terkenal itu, "There are more things in heaven and earth, Horatio, than are dreamt of in your philosophy."

Objek-objek UFO

Pada tahun 1989, ketika Discovery mengorbit Bumi, pengawas misi luar angkasa di Houston terenyak kaget ketika tiba-tiba saja mendengar dengan jelas suara James T. Kirk, komandan Enterprise – pesawat penjelajah antargalaksi – dalam serial TV Star Trek, yang terpancar dari pesawat ulang-alik tersebut. Usut punya usut, Mike Coates yang menjadi komandan misi Discovery ternyata telah merekam suara Kapten Kirk dari salah satu film "Star Trek" dan memancarkannya ke stasiun di Bumi sebagai sebuah lelucon.

Setelah melalui proses investigasi, sebagian besar fenomena UFO yang dilaporkan tidak lain adalah benda ataupun fenomena alam yang disalahkenali oleh si pengamat. Benda atau fenomena alam yang kerap kali mengecoh itu sebenarnya objek-objek astronomi seperti komet, meteor besar (bolide), kelima buah planet terang (Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus), peristiwa konjungsi planet, pesawat udara, satelit buatan, balon pengamat, bola cahaya (ball lightning), atau sekadar awan lentikular.

Salah satu laporan yang cukup terkenal mengenai penampakan UFO pernah disampaikan oleh Jimmy Carter yang saat itu masih menjabat Gubernur Negara Bagian Georgia. Diceritakan oleh sang gubernur bahwa pada awal malam 6 Januari 1969 tersebut ketika berada di teras menunggu dimulainya acara pertemuan Lion’s Club, dia telah melihat sebuah benda tunggal yang bersinar sangat terang, yang bergerak mendekat dan menjauh beberapa kali di arah langit barat pada ketinggian sekitar 30 derajat dari cakrawala. Ilustrasi yang disampaikan tersebut dengan segera menunjuk planet Venus sebagai UFO yang dimaksud, yang ketika itu sedang bersemayam di ketinggian 25 derajat arah barat dengan terang maksimum.

Tentu saja Venus tidak akan bergerak mendekat dan menjauh seperti yang dilaporkan, namun pendeskripsian seperti itu merupakan kesalahan mengidentifikasi planet terang yang lazim terjadi. Pada saat mencapai terang maksimumnya, Venus bisa terlihat 100 kali lebih terang dibandingkan bintang bermagnitudo 1. Bukan hanya sang gubernur, mereka yang terlatih sekalipun – seperti pilot pesawat atau personel militer – dapat melakukan kesalahan yang sama.

Masih tentang Venus, selama Perang Dunia II pesawat udara Amerika Serikat beberapa kali pernah mencoba menembak jatuh Venus yang disangka sebagai pesawat musuh! Kisah lainnya terjadi pada bulan Oktober 1973, ketika Gubernur Ohio kala itu, John Gilligan, menjadi berita utama karena kesaksiannya yang telah melihat UFO, padahal hanya salah kesan terhadap planet Mars.

Pada tahun 1997 silam, muncul pengakuan dari CIA (Central Intelligence Agency) bahwa pihak militer AS telah melakukan kebohongan publik dengan menyembunyikan informasi tentang adanya pesawat mata-mata Lockheed U-2A dan Lockheed SR-71 sehingga telah disalahkesani oleh masyarakat luas sebagai UFO di dalam lebih dari setengah laporan yang masuk selama periode 1950-an hingga 1960-an.

Misteri UFO


November 2007 lalu, satu panel yang beranggotakan mantan pilot, perwira militer, staf penerbangan, dan pejabat pemerintahan dari berbagai negara di seluruh dunia mendesak pemerintah AS agar membuka kembali penyelidikan mengenai berbagai klaim penampakan piring terbang atau UFO (unidentified flying objects). Panel juga meminta agar AS menempatkan masalah klaim UFO sebagai sesuatu yang serius. Pada saat bersamaan, di beberapa tempat dan negara, termasuk di Indonesia, sejumlah orang mengaku melihat benda yang mirip UFO. Apakah ini sekadar koinsidensi atau kebetulan? Ada apa sebenarnya dengan UFO? Beberapa tulisan dalam laporan yang kami muat ini diharapkan bisa memberikan tambahan informasi mengenai fenomena UFO yang hingga sekarang masih menjadi misteri ilmu pengetahuan.

Istilah UFO (Unidentified Flying Object) merujuk pada fenomena penampakan materi/benda atau energi/cahaya yang tidak lazim di angkasa (UAP – Unusual Aerial Phenomena) yang tetap tidak dapat diidentifikasi setelah dilakukan investigasi. Fenomena-fenomena yang telah berhasil diidentifikasi tentunya tidak lagi disebut UFO, melainkan dikategorikan sebagai IFO (Identified Flying Object).

Sebuah survei dilakukan majalah Newsweek atas rakyat Amerika sebelum peluncuran film "Independence Day", film yang mengisahkan invasi peradaban luar Bumi atas ras manusia. Hasilnya, 48 persen responden meyakini kebenaran fenomena UFO, 29 persen berpendapat telah ada kontak antara manusia Bumi dan makhluk luar angkasa (extraterrestrial being), dan 48 persen yang percaya adanya usaha pemerintah Amerika Serikat dalam menutup-nutupi pengetahuan tentang UFO kepada khalayak.

Sepengetahuan penulis, di Indonesia belum pernah dilakukan survei nasional tentang subjek yang satu ini. Meskipun tidak kurang dari 90 persen penampakan UFO pada akhirnya berhasil diidentifikasi sebagai objek-objek konvensional, adalah tidak mungkin untuk menolak seluruh klaim tentang fenomena yang satu ini.

Menurut Marsekal Muda TNI (Purn.) R.J. Salatun yang juga pernah mengepalai Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), fenomena UFO yang marak dilaporkan pasca- Perang Dunia II secara umum memperlihatkan ciri-ciri berikut ini. Pertama, fenomena UFO merupakan peristiwa yang terjadi berulang. Para pakar sejarah mengakui bahwa dari studi subjek-subjek seni zaman purba, artefak, maupun sastra kuno terdapat indikasi pengaruh asing (luar Bumi) sekaligus dugaan adanya "kunjungan" mereka ke Bumi sejak masa prasejarah. Bila hipotesis ini benar adanya, berarti fenomena UFO sudah dijumpai para leluhur manusia dan terus berlangsung hingga kini.

Kedua, fenomena UFO bersifat global. Kesaksian penampakan benda terbang tak dikenal muncul dari belahan Bumi mana pun, meski ada tendensi di wilayah tertentu dijumpai jumlah pelaporan yang lebih banyak daripada wilayah lainnya.

Ketiga, fenomena UFO dipenuhi berbagai keganjilan. Tentang hal ini, pakar UFO asal Prancis bernama Dr. Jacques Valle menyebutnya sebagai festival of absurdities.

Keanehan yang dimaksud seperti manuver-manuver udara yang tampaknya tidak dipengaruhi gravitasi ataupun hukum kelebaman, kemampuan memindahkan objek ke tempat lain dengan bantuan cahaya, terbentuknya lingkaran-lingkaran aneh (crop circle) di tanah pertanian atau perkebunan yang tidak merusak melainkan hanya membengkokkan tanaman, terjadinya kehilangan waktu atau missing time yang dialami oleh objek perjumpaan (seperti pada kasus yang dialami pasangan Barney dan Betty Hill pada 1961 ketika "disandera" alien sesuai pengakuan mereka), sampai mutilasi terhadap hewan-hewan ternak yang diakui para pakar forensik telah dilakukan dengan sangat sempurna.

Masih menurut R.J. Salatun, fenomena UFO juga tidak dapat diterangkan sebagai gejala yang sudah dikenal. Dari 4.400 laporan yang dianalisis dalam projek Blue Book milik Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF – United States Air Force), 27 persennya tidak dapat diterangkan sebagai benda atau gejala yang sudah dikenal meskipun telah diteliti dengan cermat. Sampai-sampai ada gurauan "orang-orang yang dapat dipercaya telah menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dipercaya".

Ciri lainnya, fenomena UFO menunjukkan aktivitas yang berpola dan bertahap. Penampakan UFO muncul secara regional yang disebut sebagai gelombang UFO sambil menunjukkan pola operasi tertentu, dimulai dari pengintaian umum hingga pengintaian terperinci yang berujung pada aktivitas pengambilan sampel ataupun pengumpulan data biologis dan medis objek.

Riset UFO

Sebelum populernya istilah UFO, sebenarnya telah ada penamaan sendiri bagi benda-benda luar angkasa yang memasuki atmosfer Bumi (seperti asteroid) yang diberikan oleh Charles Fort, yaitu Objects Seen Floating (OSF). Kurang populernya istilah ini, boleh jadi, karena tidak banyak orang yang mengenal siapakah Fort, apa pekerjaan yang dilakukannya, atau kalaupun mengenal figur ini, publik tidak menganggapnya dengan serius. Barulah setelah kasus penampakan benda terbang tak dikenal yang dialami pengusaha asal Idaho Amerika Serikat, Kenneth Arnold, istilah UFO mulai menyebar.

Pada 12 Juni 1947 itu ia sedang melakukan penerbangan dengan menumpang pesawatnya sendiri. Ketika tiba di kawasan Gunung Rainier, sang pengusaha melihat sembilan objek terang yang terbang dengan kecepatan menakjubkan. Arnold melaporkan apa yang dilihatnya kepada otoritas yang berwenang dan ketika diwawancarai media, ia sempat mengatakan bahwa gerakan objek yang dijumpainya tersebut mirip dengan piring yang melompat-lompat di permukaan sebuah kolam. Sejak saat itulah, istilah "piring terbang" yang menggelikan menyebar luas dan digunakan publik untuk menamai semua objek aneh yang dijumpai di angkasa.

Penggunaan istilah UFO untuk menggantikan piring terbang pertama kali diusulkan oleh Kapten Edward J. Ruppelt pada tahun 1952 dengan pertimbangan istilah sebelumnya tidak mencerminkan keanekaragaman bentuk dari penampakan objek. Berangkat dari membanjirnya laporan publik maupun para pilot militer berkenaan dengan penampakan benda terbang tak dikenal yang disebut sebagai era gelombang UFO di Amerika, intelijen Angkatan Udara Amerika Serikat bekerja sama dengan FBI (Federal Bureau of Investigation) secara diam-diam memulai investigasi mereka terhadap fenomena yang terjadi.

Dalam investigasi tersebut dikerahkan ilmuwan-ilmuwan yang dipandang kompeten untuk memberikan kepastian perihal mungkin tidaknya fenomena yang marak diberitakan tersebut terjadi. Setelah bekerja selama beberapa minggu, tim yang bertugas berhasil menyimpulkan bahwa fenomena yang dilaporkan sebagai "piring terbang" tersebut tidak seluruhnya sebagai bualan ataupun fenomena alam yang sudah dikenal. Dengan kata lain, hadirnya benda terbang tersebut memang benar adanya.

Berbekal kesimpulan awal ini, pada akhir September 1947 telah direkomendasikan dilakukannya investigasi terhadap fenomena yang belum dapat dijelaskan tersebut melalui pembentukan projek Sign. Projek Sign yang dijalankan oleh angkatan udara pada akhir 1947 merupakan studi resmi atas UFO yang dimiliki pemerintah Amerika Serikat.

Hasil studi yang diperoleh melalui projek ini agaknya tidak memuaskan pihak pemerintah, sebab sebagian besar personel lebih suka melihat fenomena tersebut sebagai sebuah fenomena yang berasal dari luar Bumi. Dengan pandangan demikian, tim telah menyulut ketidaksenangan penguasa yang justru tidak menyukai gagasan tentang adanya kehidupan luar Bumi yang mengunjungi planet ini menggunakan armada transportasi yang kita sebut sebagai UFO. Alhasil, Projek Sign pun dibubarkan pada akhir tahun 1948.

Sebagai penggantinya, dibentuklah projek Grudge pada awal tahun 1949. Belajar dari pengalaman projek Sign, di dalam laporan finalnya setebal lebih dari 600 halaman yang disampaikan pada Agustus 1949 dengan tegas disimpulkan bahwa tidak berhasil dijumpainya bukti yang mendukung bahwa objek-objek yang dilaporkan merupakan hasil keunggulan teknologi asing yang dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan dalam negeri Amerika Serikat.

Lebih jauh disebutkan seluruh bukti dan analisis mengindikasikan bahwa laporan seputar benda terbang tak dikenal adalah hasil dari salah duga tentang berbagai objek konvensional, histeria massa dan perang urat saraf, pekerjaan pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin menyebarkan kebohongan, dan bahkan akibat dari gangguan kejiwaan pelapornya. Meskipun demikian, dilaporkan pula bahwa 23 persen laporan yang diterima merupakan kasus yang tidak dapat dijelaskan. Tidak lama berselang setelah disampaikannya laporan final di atas, projek Grudge pun dibubarkan.

Sebagai kelanjutan dari rangkaian studi sistematik terhadap fenomena UFO oleh Angkatan Udara, dibentuklah projek Blue Book pada 1952 (menurut nama sebuah buku yang digunakan untuk keperluan ujian di sejumlah perguruan tinggi tertentu). Dengan Kapten Edward J. Ruppelt sebagai kepala dan astronom Dr. J. Allen Hynek menjabat konsultan ilmiah, riset tentang UFO memasuki babak baru berupa keterbukaan dan dikenal sebagai era produktif. Sayangnya, dengan dalih kepentingan keamanan nasional, akhir yang suram harus dialami pula oleh projek ini ketika investigasi Blue Book dikebiri dan nyaris hanya berperan sebagai kepanjangan lidah pemerintah untuk mengikis ketidakpercayaan publik atas penjelasan pemegang otoritas terhadap sejumlah fenomena UFO yang terjadi.

Meski sempat bertahan lama hingga empat kali pergantian pemimpin projek, berkenaan dengan kesimpulan yang dihasilkan oleh Komite Condon (komite bentukan kongres sebagai sebuah badan riset ilmiah yang netral pada 1966) bahwa tidak ada sesuatu yang luar biasa dengan fenomena UFO dan bahkan tidak akan ada hasil signifikan yang diperoleh melalui riset lebih jauh atas fenomena yang belum terjelaskan, projek Blue Book pun akhirnya diputuskan ditutup pada 1969.

Berbagi Ilmu Lewat "Blog"


SETIAP hari, ada jutaan blogger menuangkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya pada "khalayak" global. Dalam perkembangannya kini, blog bisa jadi bukan sekadar media curhat atau berbagi cerita sehari-hari, tetapi juga sumber ilmu pengetahuan berkekuatan besar.
Survey Blogfam terhadap 273 responden tahun 2005 tentang profil umum blogger Indonesia, menyinggung tentang tipe isi blog di Indonesia. Ternyata, isi blog berupa cerita sehari-hari menempati peringkat pertama (58%). Sementara itu, hasil survei yang octave.or.id (dari blogz.kenz.or.id) menyebut bahwa 52,40% blogger menulis blog bertema diary/curhat.
Terlepas dari survei itu, blog juga mengalami perluasan makna dan fungsi. Jika blog dulu sempat diidentikkan sebagai diary atau jurnal pribadi bersifat online, pada masa kini blog tak melulu harus bersifat personal.
Bahkan, tren blogger masa kini bisa dibilang ialah memiliki blog lebih dari satu. Jadi, selain memiliki blog personal, seorang blogger bisa saja membuat blog lain untuk kepentingan yang lain. Misalnya, blog komersial untuk jualan hingga blog bersifat sosial untuk berbagi ilmu pengetahuan.
Nah, jenis blog terakhir itulah yang akan dibahas sekarang, melalui cerita beberapa blogger yang sengaja membuat blog bertopik sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Seperti apa motivasi dan pengalamannya, kawan-kawan simak nih!
John F. Papilaya, lulusan arsitektur lansekap sebuah universitas di Jakarta, merasa gundah karena blog di Indonesia yang berisi informasi tentang potensi, kendala, dan perkembangan tentang arsitektur lansekap, masih amat langka. Sebab memang ia hobi menulis, sekaligus butuh sarana untuk mengekspresikan keprihatinan perkembangan disiplin ilmunya itu, ia pun memutuskan membuat blog bertopik tentang arsitektur lansekap (www.smartlandscape.blogspot.com) sejak September 2007.
Ia tertarik mengangkat tema-tema tentang ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang sehat, nyaman, dan juga pengetahuan "green architecture" yang tengah jadi tren dalam pembangunan. John sebenarnya memiliki blog personal juga. Namun, dalam pendapatnya, perlu pembedaan blog agar pesan yang ingin disampaikan lebih tepat jatuhnya. "Seperti memakai baju untuk ke pesta, pasti beda dengan baju untuk ke pantai," kata John, yang kini aktif bekerja sebagai konsultan arsitektur lansekap.
Sementara itu, Michael Dharmawan, seorang pekerja tinggal di Jakarta, membuat blog bertopik kepedulian lingkungan dengan alamat www.akuinginhijau.wordpress.com. Ia sebenarnya bukan aktivis LSM lingkungan atau semacamnya. "Hanya suka gemes aja, kok orang nggak peduli lingkungan. Padahal, banyak hal kecil yang bisa kita lakukan dan dengan cinta lingkungan sebenarnya kita banyak berhemat juga," kata Michael.
Alasannya memakai blog, sebab ia menilai medium itu murah meriah, terjangkau, dan efektif memengaruhi banyak orang. "Kalau cuma ide sendiri dan ngomong ke orang lain, lama sekali bisa tertular. Namun, kalau lewat blog, ada ide apa aja bisa langsung ditularkan," ucap Michael.
Di blog-nya, ia menulis tentang lingkungan global dan lokal, penghematan air dan listrik, penghijauan, energi alternatif, dsb., dalam praktik keseharian yang mudah dipahami orang awam. Respons yang datang dari pengunjung blog-nya ternyata amat baik. Ada pengunjung yang memuji, memohon izin menyalin tulisan, juga ramai-ramai membuat tautan. "Pertamanya nggak kepikir bakal banyak orang yang senang, akhirnya jadi ketagihan nge-blog di sini terus," ungkap Michael.
Meski bukan menulis untuk jurnal ilmiah atau koran sekalipun, bloggers ini tidak main-main dalam menyiapkan tulisan mereka. John, yang intensitas mem-posting-nya sekitar 4-6 kali per bulan, misalnya, bisa menghabiskan 8-12 jam per hari untuk nge-blog. Dituturkannya, sebab dalam proses pembuatan suatu tulisan, ia sering melakukan riset dengan mencari literatur yang sesuai.
"Jika memungkinkan, saya melakukan survei lapangan dengan mengamati apa penyebab permasalahan itu, dan mengambil beberapa foto kondisi sesungguhnya agar tulisan ada visualnya. Jika berhubungan dengan hal teknis, kadang saya menggambarkan dulu teknik konstruksinya. Biasanya, saya juga mencoba membawa permasalahan ini di milis yang saya kunjungi untuk didiskusikan lebih lanjut," ungkap John menjelaskan.
Mungkin, sebagian orang akan salut dengan para blogger yang terbilang "niat" dalam memproduksi karya tulisan mereka. Bagi John, itu tidak perlu dianggap mengherankan. Sebab, justru yang mengherankan baginya adalah mengapa blog bertema keilmuan, apa pun itu disiplin ilmunya, masih belum marak di Indonesia. "Ini bagian dari berbagi ilmu pengetahuan," katanya.
Namun, tenang saja, segala sesuatu yang dikerjakan dengan baik, bisa berbuah hal baik pula. Blog arsitektur milik John yang terbilang masih seumur jagung, sudah mampu menarik dua majalah untuk mewawancarainya mengenai bidang keilmuan arsitektur lansekap, dan meliput beberapa karyanya. "Untuk kepentingan bisnis, ternyata blog ini juga menghasilkan pekerjaan di bidang arsitektur lansekap, sering dikunjungi sesama profesi, juga memudahkan saya jika ingin presentasi ke klien. Daripada nenteng-nenteng portfolio, saya tinggal online dan memperlihatkan pada pihak klien yang ada di blog," kata John.
Begitu juga Endah Sulwesi, yang membuat blog review buku dengan alamat www.perca.blogdrive.com dan blog tentang sastra di www.perca.blogspot.com. Lewat blog review bukunya, ia rajin me-review buku-buku yang ia suka. Lambat laun, hobinya diketahui orang banyak, salah satunya pihak penerbit. Sekarang , ia nyaris tidak pernah beli buku lagi sebab penerbit kerap mengirimi buku-buku baru secara gratis untuk ia review. Dampak lainnya, ia ditawari mengisi rubrik seni budaya di sebuah tabloid.
Endah mulai nge-blog pada Maret 2004. Beberapa posting-an awal masih campur aduk. Akan tetapi, kemudian ia menetapkan blog tematis bertema buku dan sastra. "Saya malah tadinya nggak punya blog personal narsis gitu sebab saya kurang suka menuliskan hal-hal privat untuk umum," katanya.
Endah mengaku, mulanya hanya ingin mencari teman yang berminat sama, yaitu membaca dan mengapresiasi sastra agar bisa saling berbagi. Namun siapa sangka, ia jadi bisa menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak seperti penerbit dan pengarang.
Di blog-nya, Endah me-review beragam jenis buku, sampai liputan acara sastra dan wawancara dengan penulis. Untuk review, ia mengusahakan untuk disiplin mem-posting minimal 1 minggu sekali. Bagi Endah, blog bukan saja gaya hidup, tetapi juga kebutuhan, seperti e-mail. "Saya pikir sih bebas aja, blog mau buat tempat curhat nggak apa-apa, mau tulis yang berbobot juga nggak apa-apa, tetapi memang lebih baik yang memberi kontribusi positif," katanya.
Namun menurut Pitra Satvika, blog adalah bagian dari upaya blogger "menjual" kemampuan dirinya. Selain tempat berbagi ilmu pengetahuan, ia melihat blog juga potensial sebagai alat jualan. Pitra membuat blog dengan alamat www.media-ide.bajingloncat.com, blog yang banyak membahas tentang animasi, komik, website, dan multimedia, sebagai alat bantu promosi membangun kesadaran klien-klien terhadap perusahaan tempatnya bernaung. Blog tersebut juga sudah berhasil memboyong penghargaan, yaitu, peraih blog terbaik kategori Online Marketing and Sales pada ajang Pesta Blogger 2007.
Berkat semangat Pitra dalam membuat tulisan, selama sekitar 2,5 tahun usia nge-blog-nya, kini tak kurang ada 360-an posting-an, 3.500-an komentar, dan didatangi rata-rata 24.000 unique visitor per bulannya. Traffic yang cukup padat bagi ukuran blog tersebut membuat Pitra berharap, ke depan ada banyak pihak yang tertarik memasang iklan di blog-nya.
Namun, misi komersial bukannya tidak bisa dikawinkan dengan misi sosial. Pitra, lulusan magister TMI ITB, meyakini bahwa menulis blog baiknya didasari kecintaan untuk menulis. Yang penting adalah kesadaran ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman atau membantu orang yang membutuhkan referensi data, bukan karena semata butuh uang. "Saya sih nggak pernah berharap dapat imbas langsung dari nulis di blog ini. Cuma kenyataan yang terjadi, kini cukup banyak pihak yang akhirnya kontak saya untuk minimal bertanya tentang development game atau online branding, itu sebuah bonus," kata Pitra.
Senada dengan Pitra, John berpendapat bahwa blog bertema kedisiplinan ilmu tertentu, sangat menarik bagi para peminat keilmuan untuk dapat memuaskan dahaga keingintahuan mereka. "Dengan kemajuan internet, bagi saya blog merupakan media pembelajaran (the future class), tidak hanya di bangku kuliah dengan dosen sebagai pendidik sehingga menyebabkan pikiran penuh teori, tanpa mengetahui aplikasi dan implementasinya di masyarakat. Blog bisa jadi sarana untuk berbagi ilmu pengetahuan antara pihak akademisi dan pihak profesi sehingga terjadi link and match," kata John.